Rabu, 21 Mei 2014

Curhat Sahabat

Tidak ada yang lebih mengerikan dari marahnya perempuan yang tersakiti.
Hari ini aku ingin bercerita, tentang perempuan yang terluka. Yang dalam hatinya melebur amarah dan kebencian pada laki-laki yang amat dicintainya. Tak ada yang lebih membara dari api yang disulut oleh seseorang yang teramat berharga baginya. Tak ada yang lebih parah dari itu.

Seorang sahabat selalu bercerita padaku, bagaimana cintanya dia pada sesosok laki-laki tegap berkulit sawo matang. Tak terlalu gelap, tak juga terang. Jika sang perempuan itu berdiri di dekatnya, maka dia hanya sebata bahu lelaki itu. Maka tak heran jika lengannya selalu menyangga pada bahu sahabatku. Itulah gambaranku tentang laki-laki itu. Hanya membayangkan, tapi tak sekalipun aku bertemu.

Sahabatku bilang, dia laki-laki yang baik. Bercerita seluruh kisah hidupnya pada sang lelaki. Tapi, tak seperti warna pelangi yang terbiaskan oleh matahari dari rintik air hujan, semua itu ternyata buram. Seperti seragam yang pernah kami kenakan bersama saat sekolah menengah atas, abu-abu! Tapi baginya itu tetaplah warna. Meski hitam dan putih yang hanya bisa ditangkap oleh bola matanya, itulah warna. Baginya!

Hari ini dia bercerita lagi. Memintaku untuk tidak membenci laki-laki itu. Meskipun dia telah disakiti. Walaupun saat dia tengah jatuh tidak ada uluran tangan dari lelaki itu. Tapi dia memintaku untuk tidak membenci belahan hatinya. Aku diam. Diamku tanda aku mengikuti permintaannya.

Namun, duri yang tertanam dalam kulit itu menyakitkan. Meski kecil, sahabatku kelimpungan dengan sakit yang dirasanya. Teramat sakit. Sampai dia tak tau lagi cara mengaduh itu seperti apa. Yang dia tahu, hanya air mata yang terus mengalir di pipinya. Tak pernah berhenti. Meski berulang kali diseka.

Dan air itu berubah bara. Perlahan kecil perciknya. Bara tetaplah bara. Saat disiram oleh luka yang telah lama terpendam, maka ia menjadi api. Api yang berkobar dalam sudut hati. Membakar jiwa dan seluruh organ-organ tubuh yang awalnya hanya percaya bahwa cinta itu indah meski tidak memiliki banyak warna. Meski hanya abu-abu. Meski hanya hitam atau putih.

Tak ada yang lebih mengerikan dari marahnya perempuan yang disakiti. Kini sahabatku berkata ingin pergi. Tidak dengan membawa dendam dalam hatinya. Dia ungkit semua sakit yang mengendap dalam hatinya. Tumpah ruah semua. Layaknya banjir bandang yang mengempas pemukiman penduduk, begitulah semua terjadi. Tak bersisa amarahnya lagi. Habis pada laki-laki yang pernah memberinya mimpi dan rasa bernama cinta. Tak bersisa kasih sayang dalam dirinya.

Setelah itu sahabatku bilang, dia ingin pergi. Sekarang, dia sudah pergi.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar kamu. ☺♥

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com