Senin, 19 Juli 2010

Perempuan Terluka

saat aku meminta pada angin untuk menghapus ukiran namanya yang tertulis di pasir, angin menghembusnya pelan, hingga perlahan dia hilang dari gurun.

susah sekali perempuan itu menghapus sebuah nama yang sangat familiar, bahkan menurutnya sangat pasaran, hingga setiap saat dia akan mendengar nama itu tergiang. mulai dari dia bangun tidur, ke kampus, saat menonton televisi, bahkan saat dia bermain di dunia maya.

sebuah nama yang sangat mengganggu hari-harinya. menggerogoti hati dan pikirannya sampai-sampai dia tidak bisa berpikir dengan akal sehatnya. Jiwanya bagai mati, laksana ruh yang tercabut dari jasad orang-orang yang sudah mati. Tapi dia tidak mati, perempuan itu masih termangu di depan layar televisi yang menayangkan acara komedi. Namun dia tidak tertawa, jangankan terbahak melihat pelawak itu, bahkan untuk membuat sebuah senyuman indah seperti biasanya dia tidak sanggup.

angin memainkan kerudung yang menutupi helaian rambut ikalnya, tapi tangannya tidak sedikitpun bertegerak untuk kembali menatanya. Matanya sengaja dia pejamkan untuk merasakan angin yang menerpanya. Mungkin angin bisa menerbangkanku, hingga aku terbebas dari jaring yang mengikat tubuhku. Pikir perempuan itu sambil merentangkan tangannya.

"Apa yang membuatmu sering bertandang kesini wahai perempuan??" tanya seorang lelaki tua yang berjalan tertatih dengan tongkatnya. Perempuan itu langsung membalikkan tubuhnya. Reflek mendengar suara yang menyapanya.

"Bagaimana kau tau aku sering kesini wahai bapak tua??"

"Mataku mungkin sudah tidak bisa melihat sejernih dulu. Tapi aku belum buta wahai perempuan. Hanya kau yang datang kesini setiap hari, bahkan setiap matahari ingin pergi tidur di ufuk sana" suaranya sangat pelan, namun lelaki tua tersebut berjalan tertatih mendekatinya.

Perempuan itu tidak menjawab, karena tidak perlu jawaban dari pernyataan lelaki tua yang kini disampingnya. menikmati angin, begitu pikir perempuan itu. sambil mengembalikan posisi kerudungnya, ia kembali berjongkok, dan tangannya sibuk menguraikan sesuatu di atas pasir. Menuliskan huruf-huruf yang tersusun tak beraturan, atau sekedar menggambar bentuk yang juga tidak tau itu apa. Tak peduli angin masih terus merembus, kadang menghapus setiap huruf dan gambar yang telah ada di pasir, dia terus menulis lagi. Hingga terbentuk satu nama yang kini terpahat jelas di pasir, semenit sebelum angin menuip kembali nama itu. Perlahan. Hingga tuntas di huruf yang terakhir.

"Apa yang kau tulis wahai perempuan??"

"Tidak ada. Hanya melukiskan hatiku yang kini sedang remuk diamuk badai"

"Badai apa yang kau maksud wahai perempuan??"

"Badai yang kurasa sama dahsyatnya seperti badai yang pernah menghancurkan negeri ini, beberapa waktu lalu wahai orang tua" Mata perempuan tersebut menerawang jauh kedepan, seolah ada sesuatu yang harus dia gapai dan dia dekap erat. Sesuatu yang telah hilang

"Adakah badai yang lebih mengerikan dari amukan itu??" Lelaki tua itu bertanya kembali, seolah mendalami badai yang diceritakan perempuan muda didepannya. tapi perempuan itu tidak menjawab pertanyaannya. Hingga awan-awan berbentuk kapas berganti warna menjadi jingga, perempuan itu kembali bersuara.

"Maafkan aku wahai bapak, aku harus pergi"

saat aku meminta pada hujan untuk membasahi tubuhku, maka hujanpun mengguyurku dengan deras, hingga makhluk tak bisa melihat ada butiran air mata yang juga ikut larut bersama hujan.

Setelah berhari-hari hanya angin yang menemani bumi, kini hujan juga datang. Langkah kaki perempuan itu berlari berkejaran dengan gerimis yang makin memburu. Tapi tetap saja dia kalah cepat, hingga pada akhirnya tubuhnya harus rela basah oleh anugrah dari langit itu.

Perempuan itu main mendekap erat tangannya ke dada, berusaha menghalau rasa dingin kala dia berteduh di trotoar terdekat yang bisa dia gapai. Dia masih terus menunggu hujan reda sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya.

Ini hujan pertama di musim ini. Setelah sekian bulan angin hanya membawa debu yang membuat mata semua orang perih, dan hawa panas yang begitu menyengat kulit dan ubun-ubun. Kini angin telah membawa awan-awan hitam hingga butiran air jatuh membasahi bumi. Perempuan itu tersenyum melihat hujan, walau badannya telah dibuat sedemikian menggigil. Bibirnya merekahkan sebuah senyuman, karena ini yang diharapkannya. Hujan datang. Perlahan dia bangkit, berusaha membetulkan penutup kepalanya yang telah layu karena basah. Bangkit menuju hujan, serta membiarkan hujan membasahi tubuh tingginya.

Perlahan, ada butiran lain yang larut selain butiran hujan yang deras membasahi bumi. Kristal cair putih yang perlahan turun dari bola mata berwarna coklat muda itu, perlahan dan makin kencang. Hingga tak berapa lama, perempuan itu malah terisak dibawah rintik hujan yang juga kian deras. Senandung kodok yang ikut memeriahkan suasana kala hujan, bagai lagu pengantar kematiannya. Kembali hatinya terasa perih ibarat luka yang dicincang dan dibasahi jeruk nipis. Dia tidak mampu menepis luka, bahkan tidak bisa mengobati hatinya yang terlanjur luka oleh seseorang. Hingga malam kian larut, dia masih terisak dalam dingin malam.

dan saat aku meminta pada Tuhan, agar Dia tidak menjauhkanku dengan orang yang menggenggam hatiku ini, Dia belum mengabulkannya. Karena sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang tidak diketahui oleh sekalian alam.


-Buat seseorang yang tersakiti, dan menyakiti-

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar kamu. ☺♥

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com