Minggu, 03 Februari 2013

Mengunjungi Putri Pukes [Ke Gayo part III]


“Mau lihat manusia berubah jadi batu?” ujar tukang becak yang mengantar Saya mengitari pusat wisata di kota tengah pegunungan ini. Anggukan tanda persetujuanpun mengantarkan saya ketempat tujuan. Jam menunjukkan pukul 16.00 wib saat becak membawaku menuju tempat manusia batu.

Angin pegunungan yang berhembus cukup membuat saya harus  merapatkan jaket untuk menghangatkan diri. Tidak begitu jauh dari pintu gerbang bertuliskan ‘Wisata Danau Lut Tawar’, deretan para penjual jajanan pun terlihat berjejer di seberang danau. Setelah menempuh tigapuluh menit perjalanan, becak mesin itu berhenti di sebuah gua.

Gua tersebut menyimpan sosok manusia yang berubah menjadi batu. Rasa penasaran membuat aku menginjakkan kaki untuk masuk ke dalam gua. Namun, untuk masuk dan melihat itu ternyata tidak gratis. Aku membayar Rp 4000,- untuk tiket masuk wisata ke dalam gua.

Mulut gua tersebut tidak muat untuk tiga orang yang masuk sekaligus. Para pengunjung lain yang datang bersamaan harus berbaris untuk bisa masuk ke dalam gua. Saya kembali menapaki tangga batu untuk turun masuk melihat manusia batu tersebut.

Saat masuk dalam gua yang berukuran kira-kira 10x30 meter tersebut, Aku langsung disuguhi pemandangan relief gua yang berbentuk secara alami tersebut. Ditengah gua terdapat sumur yang akan penuh selama tiga bulan sekali dari mata air pegunungan. Tak begitu jauh dari sumur, terdapat sebuah patung yang merupakan sesembahan masyarakat pada zaman dulu kala.

Para pemandu mengarahkan kami untuk turun lebih dalam lagi untuk melihat manusia batu. Letaknya agak lebih masuk, menepi ke sebelah kiri dari sisi gua itu sendiri. Diterangi dengan lampu pijar yang sengaja dipasang, membuat wisatawan bisa melihat langsung batu yang berasal dari wujud manusia itu.

“Ini adalah putri pukes. Dia berubah jadi batu karena melawan titah orangtuanya,” ujar Abdullah.
Abdullah pun menuturkan kisah Putri Pukes untuk menjawab rasa penasaran para pengunjung yang datang ke sana. Alkisah Putri Pukes adalah seorang yang tinggal di sebuah kampung bernama Nosar. Dia pun menikah dengan pemuda dari kampung seberang, Samar Kilang (saat ini masuk Kabupaten Bener Meriah). “Dalam adat perkawinan dulu, jika seorang pengantin wanita hendak pergi mengikut suaminya, maka dia tidak boleh kembali lagi kepada orangtuanya kecuali sudah mendapatkan keturunan,” tuturnya.

Maka, saat iringan pengantin membawa sang putri meninggalkan rumah dan kampung halamannya, kendati Putri Pukes itu adalah anak satu-satunya, sang ibupun berpesan padanya agar tidak menoleh kebelakang. “Jika kau hendak pergi ikut suamimu, aku ijinkan. Tapi jangan menoleh kebelakang,” ujar Abdullah melafalkan ucapan ibu putri pukes.

“Singkat cerita, saat rombongan sang putri sudah menyeberangi danau, sang putripun teringat akan keluarganya. Karena sangat sedih harus meninggalkan ibunya, dia menoleh kebelakang. Lalu datanglah petir dan badai, sehingga para ketua rombongan menyuruh mereka berlindung di dalam gua ini,” sambungnya.

Setelah badai berhenti, rombonganpun keluar dari gua, tapi mereka tidak mendapatkan Putri bersama mereka. Mereka panik dan mencari putri keseluruh penjuru gua, dan mendapati Putri yang terduduk di dalam dengan badannya yang telah mengeras seperti batu.

Sedangkan suaminya, ujar Abdullah juga berubah menjadi batu. Namun wujudnya jauh dari gua sang putri. “Suaminya juga berubah menjadi batu karena permintaannya sendiri. Dia merasa tidak ada gunanya lagi kembali ke kampung, sedang istrinya sudah menjadi batu. Suami Putri Pukes itu jauh diatas gunung, sekitar 200 meter dari sini,” jelasnya.

Sudah puluhan, mungkin ratusan kali Abdullah menuturkan kisah putri pukes ini pada wisatawan yang berganti tiap harinya. Abdullah adalah penduduk asli dan pewaris gua pukes dari leluhurnya. “Saya sudah dari kecil disini. Ini adalah tanah keluarga saya, jadi saya coba untuk melestarikannya,” ungkapnya.

Dia sendiri sudah menjaga gua Pukes ini sejak tahun 1991. Sedikit demi sedikit, uang yang dia dapat dari tiket masuk para pengunjungpun dipergunakan untuk biaya hidup keluarganya serta mempercantik tampilan muka gua.

“Uangnya saya belikan semen, saya bangun ini biar cantik. Ini kendi, relief tangan dan kaki, saya yang buat. Jadi kalau tempat ini cantik juga banyak pengunjungnya,” jelasnya sambil tersenyum.
Abdullah mengatakan meskipun tempat ini menjadi salah satu objek wisata di daratan tinggi Gayo, namun pemerintah daerah dibawah dinas kebudayaan dan pariwisata tidak memberikan bantuan untuk merenovasi tempat ini.

“Tidak ada bantuan dari pemerintah. Ini semua murni saya kelola. Bangunan ini, semua saya bangun dari uang saya,” katanya.

pernah dipostingkan di The Globe Journal

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar kamu. ☺♥

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com