Angin
pegunungan yang berhembus cukup membuat saya harus merapatkan jaket
untuk menghangatkan diri. Tidak begitu jauh dari pintu gerbang bertuliskan
‘Wisata Danau Lut Tawar’, deretan para penjual jajanan pun terlihat berjejer di
seberang danau. Setelah menempuh tigapuluh menit perjalanan, becak mesin itu
berhenti di sebuah gua.
Gua
tersebut menyimpan sosok manusia yang berubah menjadi batu. Rasa penasaran
membuat aku menginjakkan kaki untuk masuk ke dalam gua. Namun,
untuk masuk dan melihat itu ternyata tidak gratis. Aku
membayar Rp 4000,- untuk tiket masuk wisata ke dalam gua.
Mulut gua
tersebut tidak muat untuk tiga orang yang masuk sekaligus. Para pengunjung lain
yang datang bersamaan harus berbaris untuk bisa masuk ke dalam gua. Saya kembali menapaki tangga batu untuk turun masuk melihat manusia batu
tersebut.
Saat
masuk dalam gua yang berukuran kira-kira 10x30 meter tersebut, Aku langsung disuguhi pemandangan relief gua yang berbentuk secara alami tersebut.
Ditengah gua terdapat sumur yang akan penuh selama tiga bulan sekali dari mata
air pegunungan. Tak begitu jauh dari sumur, terdapat sebuah patung yang
merupakan sesembahan masyarakat pada zaman dulu kala.
Para
pemandu mengarahkan kami untuk turun lebih dalam lagi untuk melihat manusia
batu. Letaknya agak lebih masuk, menepi ke sebelah kiri dari sisi gua itu
sendiri. Diterangi dengan lampu pijar yang sengaja dipasang, membuat wisatawan
bisa melihat langsung batu yang berasal dari wujud manusia itu.
“Ini
adalah putri pukes. Dia berubah jadi batu karena melawan titah orangtuanya,”
ujar Abdullah.
Abdullah
pun menuturkan kisah Putri Pukes untuk menjawab rasa penasaran para pengunjung
yang datang ke sana. Alkisah Putri Pukes adalah seorang yang tinggal di sebuah
kampung bernama Nosar. Dia pun menikah dengan pemuda dari kampung seberang,
Samar Kilang (saat ini masuk Kabupaten Bener Meriah). “Dalam adat perkawinan
dulu, jika seorang pengantin wanita hendak pergi mengikut suaminya, maka dia
tidak boleh kembali lagi kepada orangtuanya kecuali sudah mendapatkan
keturunan,” tuturnya.
Maka,
saat iringan pengantin membawa sang putri meninggalkan rumah dan kampung
halamannya, kendati Putri Pukes itu adalah anak satu-satunya, sang ibupun
berpesan padanya agar tidak menoleh kebelakang. “Jika kau hendak pergi ikut suamimu,
aku ijinkan. Tapi jangan menoleh kebelakang,” ujar Abdullah melafalkan ucapan
ibu putri pukes.
“Singkat
cerita, saat rombongan sang putri sudah menyeberangi danau, sang putripun
teringat akan keluarganya. Karena sangat sedih harus meninggalkan ibunya, dia
menoleh kebelakang. Lalu datanglah petir dan badai, sehingga para ketua
rombongan menyuruh mereka berlindung di dalam gua ini,” sambungnya.
Setelah
badai berhenti, rombonganpun keluar dari gua, tapi mereka tidak mendapatkan
Putri bersama mereka. Mereka panik dan mencari putri keseluruh penjuru gua, dan
mendapati Putri yang terduduk di dalam dengan badannya yang telah mengeras
seperti batu.
Sedangkan
suaminya, ujar Abdullah juga berubah menjadi batu. Namun wujudnya jauh dari gua
sang putri. “Suaminya juga berubah menjadi batu karena permintaannya sendiri.
Dia merasa tidak ada gunanya lagi kembali ke kampung, sedang istrinya sudah
menjadi batu. Suami Putri Pukes itu jauh diatas gunung, sekitar 200 meter dari
sini,” jelasnya.
Sudah
puluhan, mungkin ratusan kali Abdullah menuturkan kisah putri pukes ini pada
wisatawan yang berganti tiap harinya. Abdullah adalah penduduk asli dan pewaris
gua pukes dari leluhurnya. “Saya sudah dari kecil disini. Ini adalah tanah
keluarga saya, jadi saya coba untuk melestarikannya,” ungkapnya.
Dia
sendiri sudah menjaga gua Pukes ini sejak tahun 1991. Sedikit demi sedikit,
uang yang dia dapat dari tiket masuk para pengunjungpun dipergunakan untuk
biaya hidup keluarganya serta mempercantik tampilan muka gua.
“Uangnya
saya belikan semen, saya bangun ini biar cantik. Ini kendi, relief tangan dan
kaki, saya yang buat. Jadi kalau tempat ini cantik juga banyak pengunjungnya,”
jelasnya sambil tersenyum.
Abdullah
mengatakan meskipun tempat ini menjadi salah satu objek wisata di daratan tinggi
Gayo, namun pemerintah daerah dibawah dinas kebudayaan dan pariwisata tidak
memberikan bantuan untuk merenovasi tempat ini.
“Tidak
ada bantuan dari pemerintah. Ini semua murni saya kelola. Bangunan ini, semua
saya bangun dari uang saya,” katanya.
pernah dipostingkan di The Globe Journal
pernah dipostingkan di The Globe Journal
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar kamu. ☺♥